top of page
  • Gambar penulisKavita Media

Politik Identitas dan Pencitraan Laris Manis di Musim Pilkada


Perilaku pemilih menjelang Pilkada Serentak Juli 2018 masih sangat dipengaruhi oleh politik identitas dan pencitraan. Identitas kesukuan, citra kandidat dan pilkada masih menjadi focus utama dalam membentuk opini public dan perilaku pemilih.


Keterkaitan antara kesukuan dan perilaku pemilih dalam Pilkada menarik untuk dikaji secara mendalam karena sentimen kesukuan seringkali muncul dalam Pilkada di Indonesia, semisal munculnya isu “putra daerah”, “calon pendatang”, “calon penduduk asli” dan lain sebagainya.


Kedaulatan rakyat dalam Pilkada langsung menghadapi fakta sosiologis dengan menguatnya arus kesukuan dalam masyarakat multietnis yang ditampilkan dalam bentuk politik identitas. Politik identitas seperti kesukuan tidak hanya ditampilkan oleh calon pemimpin dalam Pilkada dengan latar belakang kesukuannya, akan tetapi, bagi pemilih menjadi salah satu pertimbangan penting dalam perilaku politik.


Identitas kesukuan masih sangat berpengaruh terhadap partisipasi politik, terutama perilaku politik dalam mempengaruhi opini public. Identitas kesukuan dalam pertarungan politik Pilkada digunakan dalam tiga hal, yaitu dalam memobilisasi simbol kesukuan, menjadi pertimbangan pemilih, dan seleksi dan strategi kandidat pemimpin (seperti putra daerah).


Di dalam masyarakat multietnis dengan ikatan erat pada masing-masing etnis, persaingan dalam politik Pilkada tersebut tak dapat mencegah munculnya politik identitas kesukuan. Dengan adanya ikatan yang erat pada identitas etnis, hal tersebut tentu akan sangat berpengaruh terhadap perilaku pemilih dan pertimbangan politik mereka. Artinya, sulit dibayangkan bahwa masyarakat pemilih tidak menghiraukan latar belakang suku pasangan calon pemimpin daerah.


Perilaku pemilih yang bergantung pada identitas politik kesukuan ini dianggap tidak rasional. Di beberapa daerah selama Pilkada langsung pertama dan kedua, politik identitas kesukuan diduga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam kemenangan paslonkada.


Pilkada langsung masih kental, dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiologis seperti kuatnya pengaruh identitas kesukuan dalam politik lokal tersebut. Pilkada secara langsung masih sulit dilepaskan dari politik identitas kesukuan terutama latar belakang kandidat paslonkada. Sentimen dan isu-isu identitas kesukuan sudah mulai muncul sejak proses Pilkada langsung yang diselenggarakan pada desember 2015.


Selain politik identitas, dan pencitraan, perilaku pemilih dipengaruhi oleh banyak factor yang saling berkaitan dengan aspek lain. Misalnya, factor isu-isu dan kebijakan politik, faktor agama, adanya sekelompok orang yang memilih kandidat tertentu karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya. Selain itu, ada juga orang yang memilih kandidat tertentu karena dianggap mewakili kelas sosialnya. Bahkan ada juga kelompok yang memilih kandidiat tertentu sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu.


Dalam pedekatan Sosiologis, dalam hal perilaku pemilih cenderung menempatkan kegiatan pemilih dalam kaitannya dengan konteks sosialnya. Pendekatan ini melihat latar belakang demografi dan social ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama berpengaruh dalam menentukan pilihan politik seseorang.


Di samping itu, adanya pengaruh sosiologis terhadap perilaku pemilih, yakni identifikasi kelas social tentang kesamaan cara pandang antara pemilih yang memiliki kedudukan sosial tertentu dengan kedudukan sosial partai politiknya. Atau hal tersebut ada di antara kedudukan sosial dirinya dengan kedudukan sosial paslonkada.

Secara Psikologis, pilihan politik seseorang berkaitan antara pemilih dengan partai politik. Bagaimana persepsi pemilih terhadap partai-partai politik yang ada atau bagaimana hubungan emosional pemilih dengan partai politik tertentu. Pendekatan psikologi dalam perilaku pemilih berkorelasi dengan konsep “sense of psychological”. Konsep ini melihat keterkaitan antara pemilih dengan partai atau kandidat tertentu yang menjadi pilihan politiknya. Teori ini mengidentifikasi kesamaan secara psikologi antara diri dan keadaan seseorang dengan pilihan politik yang akan dipilihnya.


Dalam aspek psikologis, calonkada di ibaratkan penjual yang baik, tugas seorang penjual adalah membuat calon pembelinya membeli sebuah produk tanpa paksaan. Disinilah esensi utama dari seorang penjual, dimana tugas utamanya adalah membuat seseorang membeli sebuah produk tanpa merasa dia dipaksa untuk membeli.

Dengan orang merasa tidak di paksa untuk membeli produk, maka secara tidak langsung, calonkada sebagai penjual sudah menjalankan tugasnya dengan baik yaitu menyampaikan value produk politiknya.


Apakah memang semudah itu? Tentu tidak! Karena banyak calonkada yang mendapat penolakan. masyarakat tidak langsung menerima begitu saja produk dan janji politik yang disampaikan calonkada.


Disinilah yang seru.. semakin ditolak, semakin penasaran. Salah satu cara untuk membuat pemilih rela mendukung dan memilih calonkada adalah dengan "menyentuh" secara langsung pikiran psikologisnya. Hal ini terbukti ampuh karena setiap orang memiliki kecenderungan psikologis yang mirip, bahkan ada juga yang sama.


Lain pul halnya, bila dikaitkan dengan pendekatan rasional, dimana pilihan politik seseorang dengan pertimbangan kalkulasi untung dan rugi. Pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, akan tetapi, juga perbedaan dari alternatif terhadap pilihan-pilihan yang ada.


Pertimbangan untung rugi bagi pemilih digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandididat yang dipilih, terutama dalam rangka membuat keputusan untuk ikut memilih atau tidak ikut memilih. Pendekatan rasional ini bermanfaat untuk menjawab kenapa banyak masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam pilkada.


Figur kandidat dapat juga merupakan identitas sebuah institusi politik yang dapat ditawarkan kepada pemilih. Para pemilih dipersilahkan menilai, menimbang dan menentukan pilihan mana yang bakal mendapatkan dukungan politiknya. Tentu pilihan tersebut memiliki alasan, baik kualitas kandidat maupun alasan lainnya.


Kualitas kandidat dapat dilihat dari tiga dimensi sebagai berikut: Pertama, kualitas instrumental, yaitu sebuah kompetensi kandidat yang meliputi kompetensi manajerial. Kedua, faktor simbolis, yang meliputi prinsip-prinsip hidup maupun nilai nilai dasar yang dianut oleh seorang kandidat, aura emosional, aura inspirasional, dan aura sosial. Ketiga, fenotipe optis, yakni penampakan visual seorang kandidat yang terdiri dari faktor pesona fisik, faktor kesehatan dan gaya penampilan.

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page