top of page
Gambar penulisKavita Media

MEDIA SOSIAL DAN KAMPANYE POLITIK

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2018 akan segera terlaksana. Para kandidat calon kepala daerah dan Partai politik mulai berbondong-bondong merancang strategi kampanye politik mereka, baik di media televisi maupun media online. Terlihat dengan maraknya iklan politik di media sosial dan di televisi. Banyaknya pemberitaan seputar pilkada dan iklan politik di media sosial dan di beberapa stasiun televisi mengisyaratkan bagaimana saat ini dunia politik kekinian sudah memanfaatkan media massa. Peningkatan elektabilitas calon dan partai politik tidak saja dipengaruhi oleh pemberitaan politik di media online yang cendrung bersifat positif, melainkan juga oleh terpaan pesan iklan kampanye politik di media televisi.


Realitas terkini menunjukkan bahwa metode kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat umum mulai terasa hampa. Di balik keramaian massa dengan berbagai atribut, terasa sepi makna. Keramaian ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai berpindah ke ruang-ruang maya. Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuduh secara frontal begitu bebas terjadi di berbagai media sosial.


Efektifitas kampanye melalui social media sangat prospektif terutama bagi kalangan masyarakat terpelajar yang tersebar di kota-kota besar dengan penetrasi internet yang cukup baik. Sosmed saat ini bisa dikatakan sebagai media yang paling cepat dalam penyampaian pesan karena besar potensi untuk terciptanya “getok tular” (viral marketing).


Infrastruktur dan kecepatan internet Indonesia yang terus membaik, dan meluasnya adopsi smartphone hingga ke seluruh penjuru tanah air, bisa dipastikan peran media sosial dalam persaingan politik di Indonesia akan kian menguat, dan fenomena di tingkat nasional ini pun telah diduplikasi oleh elite-elite tingkat lokal dalam pelaksanaan Pilkada.


Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial. Di sini dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Maka, secara berseloroh, di media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang.


Inilah kelebihan media sosial: efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide, termasuk isi kampanye via media sosial, berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit, informasi tersebar luas ke seluruh follower, begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multi-level marketing.


Efektivitas media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik media sosial sendiri juga merupakan  kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh ke sekelilingnya.


Tidak instan


Selain itu, pengguna media sosial yang well inform dan terdidik ini tidak mudah dibohongi, tapi mudah terpengaruh dan simpati pada hal-hal yang membuat mereka tersentuh. Ketenaran dan kekuatan politik yang sekarang menempel pada Jokowi, misalnya, disumbang besar oleh perbincangan di media sosial yang mengarah pada kekaguman setiap orang pada keotentikan dan keseriusan Jokowi selama ini dalam mengurus rakyat.


Di dalam ruang media sosial hanya informasi yang sesuai fakta yang berharga. Untuk mencapai keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali muncul perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi tesis yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di media sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul "kesepakatan sunyi" di antara pihak-pihak yang berdebat beserta para "pendengarnya".


Inilah sintesis tersebut. Proses seperti ini berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Karena sifatnya yang memiliki rentang waktu panjang, media sosial tidak memiliki pengaruh signifikan untuk kampanye yang sifatnya mobilisasi. Kerja-kerja di media sosial bergerak perlahan dengan membincangkan visi, misi, ide, ideologi. Pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak dengan kemauan dan kesadaran sendiri.


Media sosial hanya berpengaruh signifikan bagi politikus yang bekerja sepanjang waktu. Bukan pekerjaan instan lima tahun sekali. Mereka yang intens menyebarkan ide-ide dan berdiskusi dalam bidang tertentu secara mendalam sepanjang waktu akan mendapat hasilnya saat pemilu.


Media sosial tidak cocok untuk politisi "kosong", tapi hanya bagi mereka yang punya kemampuan berpikir dan berdialektika. Media sosial juga tak cocok bagi yang egois, melainkan bagi mereka yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Hanya politisi yang memiliki simpati dan empati terhadap permasalahan rakyat yang akan menuai simpati dan empati publik.


Sifat kampanye di media sosial bisa merupakan kebalikan dari kampanye di dunia nyata. Jika di dunia nyata kampanye begitu berisik, keras suaranya tapi tanpa bukti nyata, di media sosial adalah antitesis dari berisik dan bising tersebut, yaitu bermakna. Setiap suara punya arti, memiliki pembuktiannya sendiri-sendiri.


Politik di media sosial bisa merupakan politik sejati, yaitu politik yang benar-benar berisi ide-ide dan aksi nyata untuk kebaikan umum. Inilah politik yang memiliki daya dobrak. Berbagai isu sosial yang menjadi beban masyarakat sering kali mendapatkan solusinya di media sosial.


Penyeimbang


Di sisi lain perlu ada regulasi yang jelas dan komprehensif. Kecurangan dan pelanggaran amat mungkin terjadi saat regulasi yang ada memiliki banyak celah. Amat mungkin terjadi kampanye di media sosial saat masa tenang dan pungut-hitung. Permenkominfo No 14/2014 tentang Kampanye Pemilu melalui Penggunaan Jasa Telekomunikasi perlu disosialisasikan dan diperkuat dengan peraturan KPU dan peraturan Bawaslu.


Potensi pelanggaran lainnya terkait kejelasan aktor dan materi kampanye. Perlu ada aturan yang jelas untuk mencegah kampanye yang bersifat fitnah, terutama oleh akun-akun anonim. Sebagai catatan, media sosial dapat jadi solusi meminimalkan ketidakadilan. Media sosial dapat jadi penyeimbang media siaran televisi yang sekarang tak lagi mampu mempertahankan independensi dan keadilannya. Televisi dimiliki pengusaha yang sekarang masuk berbagai partai. Kondisi ini menyebabkan media televisi tersebut menjadi corong partai politik sang pemilik. Di sinilah urgensi media sosial.


Media Online dan TV Jadi Sumber Informasi Generasi Millennial



Media online dan televisi menjadi sumber informasi bagi generasi milenial. Mayoritas milenial membaca media online dan menonton TV setiap hari. Berdasarkan hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengungkapkan bahwa 79,3 persen generasi milenial menonton televisi setiap harinya. Sedangkan yang mendengarkan radio hanya 9,5 persen setiap harinya dan yang membaca surat kabar hanya ada 6,3 persen setiap harinya.

Generasi milenial yang membaca media online sebanyak 54,3 persen. Untuk media online perbandingan antara generasi milenial dan non milenial sangat berbeda jauh. Non milenial hanya 11,9 persen yang membaca media online setiap harinya.

Hasil hasil riset tersebut menunjukkan bahwa generasi milenial mengalami pergeseran. Dari media cetak menjadi online sehingga saat ini lebih banyak anak muda yang mengakses media online sehingga penetrasinya besar jaraknya dengan non milenial.


Milenial, Politik, dan Media Sosial



Pembicaraan mengenai generasi milenial di Indonesia kian hangat. Padahal kisaran usia milenial sendiri masih menjadi perdebatan. Menurut Majalah Newsweek, milenial adalah generasi yang lahir di kisaran tahun 1977-1994. PEW Research Center menyatakan lahir di atas tahun 1980. Sementara itu, Majalah TIME menilai milenial lahir pada tahun 1980 - 2000.

Meski kisaran soal usia masih menjadi perdebatan, tak bisa dipungkiri bahwa milenial menjadi kelompok yang paling didekati saat ini. Dalam panggung politik Indonesia, kita bisa melihat banyak tokoh beramai-ramai mengklaim dirinya paling milenial. Mulai dari gaya berpakaian, gaya bicara, hingga gaya bermedia sosial pun disesuaikan dengan selera milenial.


Menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55% pada 2019 nanti. Pemilih dengan rentang usia ini bisa dikatakan sesuai dengan kisaran usia milenial yang disebutkan berbagai media di atas. Mendekati generasi milenial bukan tanpa tantangan. Majalah TIME pada 2013 memberikan label kepada generasi milenial sebagai "The Me Me Me Generation". Milenial, menurut TIME, dinilai sebagai generasi yang individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik.

Di Indonesia sendiri, utamanya terkait apatisme politik, hal ini terkonfirmasi dengan survei yang dirilis oleh CSIS dan Litbang Kompas. Survei CSIS yang dirilis pada awal November lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik.

Di tengah pandangan bahwa generasi milenial adalah generasi yang apatis terhadap politik, dunia justru sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apapun pandangan politik yang mereka yakini.

Kita bisa melihat Macron (39) menjadi Presiden termuda Prancis dalam sejarah, atau Sebastian Kurtz (31) yang disebut sebagai pemimpin dunia termuda, atau mungkin Nathan Law (23) pada usianya yang begitu muda mampu mengantongi 50 ribu suara dan menjadi anggota parlemen Hong Kong.

Tren politik milenial bisa diartikan membaiknya kesadaran politik milenial. Tapi tentu saja, ini masih jauh dari cukup. Hasil-hasil survei dengan gamblang menunjukkan bahwa kesadaran politik milenial harus menjadi perhatian bersama. Khususnya di Indonesia, generasi milenial apatisme terhadap politik, hal ini tak lepas dari persepsi mereka bahwa politik itu kotor. Belum lagi, setiap hari mereka disuguhi pemberitaan tentang pejabat publik yang menggunakan rompi oranye.

Ada pula penjelasan lain yang mungkin bisa menjadi alasan milenial apatis berpolitik. Daniel Wittenberg pada 2013 menulis artikel di The Guardianmengenai anak muda dan politik. Wittenberg menceritakan bagaimana ia dan anak muda lainnya tertarik dengan isu-isu yang berkaitan dengan masa depannya seperti akses pendidikan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan rumah murah. Bahkan Wittenberg dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya anak muda tertarik dengan politik, tapi tak pernah diberi kesempatan dalam politik.


Media Sosial

Dengan segala perdebatannya, mendekati milenial adalah sebuah keharusan. Karena itu, mendekati media sosial pun menjadi sebuah keniscayaan. Menurut survei CSIS, sebanyak 81,7% milenial memiliki Facebook, 70,3% memiliki Whatsapp, 54,7% memiliki Instagram. Twittersudah mulai ditinggalkan milenial, hanya 23,7% yang masih sering mengaksesnya.

Kendati demikian, media sosial bukan tanpa tantangan. Faktanya media sosial, wadah generasi milenial "berkumpul", menjadi tantangan tersendiri. Tren vlogger di Youtube atau yang biasa dikenal dengan Youtuber merupakan sisi positif media sosial yang menggali kreativitas generasi milenial melalui video-video yang mereka unggah.

Di sisi lain, media sosial bisa menjadi malapetaka. Apalagi jika dikaitan dengan politik. Ini terjadi di beberapa negara. Revolusi Tunisia dimulai dari media sosial ketika seorang lelaki melakukan protes atas pemerintahan Tunisa dengan membakar dirinya kemudian video tersebut menjadi viral di Twitter dan Facebook sehingga memicu gerakan-gerakan selanjutnya. Akhirnya, revolusi yang dipengaruhi kekuatan media sosial ini memicu perubahan politik di wilayah-wilayah negara Arab yang dikenal sebagai The Arab Spring.

Di Amerika, peneliti media sosial Ohio University, Laeq Khan melihat kemampuan Donald Trump mendekatkan diri dengan pemilihnya di media sosial lebih dari Hillary Clinton mengantarkan dirinya menjadi Presiden Amerika Serikat. Apalagi di Amerika kepercayaan kepada media massa sedang menurun drastis. Survei UCLA & Stanford University menunjukkan bahwa 42% penonton televisi sudah tidak menonton iklan kampanye di channel-channel televisi tersebut.

Bukan hanya itu, di Amerika, muncul akun-akun palsu untuk menyebarkan berita hoax terhadap Hillary Clinton selama masa kampanye Pemilu Presiden. Akun-akun tersebut oleh beberapa media Amerika diduga berasal dari negeri pimpinan Vladimir Putin.

Penggunaan media sosial untuk kegiatan politik di Indonesia pun mengalami pasang surut. Media sosial mampu mengorbitkan tokoh seperti Jokowi yang pada Pilkada 2012 dan Pilpres 2014 juga begitu memanfaatkan kampanye via Twitter. Basuki Tjahaja Purnama memanfaatkan media sosial, Youtube utamanya, sebagai sarana transparansi pemerintahan daerah.

Secara bersamaan, media sosial juga memunculkan sindikat penebar hoaxseperti Saracen atau orang seperti Jonru. Pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, kita bisa melihat bagaimana linimasa media sosial dipenuhi oleh hoax yang begitu provokatif dan berniat memecah belah kita sebagai bangsa. Jelang Pilkada serentak 2018 ini dan mendekati Pilpres 2019, isu politik negatif dan berita Hoax mulai digaungkan lagi untuk menebar fitnah dan kebencian terhadap lawan politik .


Media sosial membuka akses yang begitu luas. Siapapun bisa menjadi content writer di media sosial sehingga tidak mengherankan ketika media sosial benar-benar menjadi media bebas yang diisi konten positif maupun negatif. Tentu saja, media sosial tidak salah. Tak boleh ada batasan pula terhadap akses media sosial. Karena itulah, media sosial tantangan tersendiri. Ini perang mengenai siapa yang paling mampu mengisi konten tersebut.

Penggunaan media sosial untuk kampanye politik tidak bisa dihindarkan. Tidak ada pula yang salah terkait itu. Para politisi tentu juga sudah sadar bahwa media sosial sudah menjadi arus utama informasi generasi milenial. Karena itu, mendekati milenial melalui media sosial juga harus dengan cara-cara yang bijak. Bukan dengan menjejali mereka dengan informasi yang tak bermutu hanya untuk meraup suara mereka semata.

Politisi punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi politik, atau konten yang positif kepada generasi milenial melalui media sosial sehingga kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran politik yang positif. Catatan lain yang juga penting, politisi atau utamanya elite politik tak boleh mendekatkan diri kepada milenial semata untuk mendapatkan suara ketika kampanye saja.

Kesadaran politik milenial harus dibarengi dengan memberikan mereka panggung di politik Indonesia. Sudah waktunya elite politik memberikan generasi milenial tempat di panggung politik Indonesia. Jangan sampai apa yang dikatakan Daniel Wittenberg pada 2013 lalu menjadi kenyataan di Indonesia. Milenial mulai suka dengan isu politik, tapi mereka tersingkirkan karena tidak diberi tempat.

SEMOGA BERMANFAAT. Salam KAVITA MEDIA

Postingan Terakhir

Lihat Semua

INFORMASI

コメント


bottom of page