Di era digital, masyarakat dunia pun lepas dari yang namanya imperialisme. Inilah yang selanjutnya disebut dengan digital imperialisme (digital imperialism). Ada diksi yang sejenis dengan itu, misalnya digital colonialism (kolonialisme digital). Keduanya merujuk pada makna yang sama, yaitu penjajahan digital.
Penjajahan digital sesungguhnya ancaman nyata yang semestinya diwaspadai dan bisa dihadapi. Ini bukan sekedar dongeng. Namun telah membersamai aktifitas kehidupan kita. Konsekwensi logis dari Revolusi digital dipicu oleh revolusi teknologi informasi. Kita, ibarat ‘kerbau dicocok hidung’, mengikuti seluruh pakem di dalamnya, agar tidak dibilang tertinggal , sehingga membebek tanpa reserve. Agar nampak gaul dan kekinian, meski sesungguhnya sedang menjadi bidak dari permainan percaturan global.
Percaya atau tidak, kita sejatinya berada dalam jebakan betman. “Terjebak” dalam berbagai tawaran yang menggiurkan dari revolusi digital tersebut. Padahal, setiap aktifitas kita, saat tersambung dan terhubung dalam jaringan digital, semua itu ada cost-nya. Dan, biayanya itu, bukan hanya sekedar berbentuk uang ataupun pulsa yang disedot. Tetapi lebih dari itu. Ada social cost yangharus dibayar, dimana ini yang kerapkali kita lupakan atau mungkin tidak kita sadari. Social Cost inilah yang kemudian akan dikapitalisasi oleh penyedia layanan, baik sosial maupun bisnis, menjadi kekuatan mereka, untuk dalam beberapa waktu kedepan, mendikte bahkan “memperkuda” kita dalam setiap aktifitas kehidupan. Dengan demikian sudah semestinya kita aware tentang hal ini.
Membaca Tanda
Dewasa ini, kita bisa melihat dan kemudian memperediksikan apa yang akan terjadi ke depan, melalui data. Data yang diolah menjadi informasi, dan darinya akan menjadi pengetahuan. Dalam kaidah knowledge management, maka puncak tertinggi dari informasi ini adalah wisdom alias kebijaksanaan. Sehingga, kemampuan membaca tanda ini, akan memberikan jawaban akan apa yang terjadi saat ini, mempelajari masa lalu, dan tentu saja merancang kedepan. Olehnya data-data tersebut, setidaknya akan memberikan gambaran secara akurat.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, di peroleh data terkait dengan pilihan konten media sosial yang digunakan Facebook 71,6 juta (54%), Instagram 19,9 juta (15%), YouTube 14,5 jua (11%), Google+ 7,9 juta (6%), Twitter 7,2 juta (5,5%), LinkedIn 796 ribu (0,6%). Belum lagi jika di kaitkan dengan pennguna Whats Ap, Telegram, Line dan aplikasi sejenisnya. Selanjutnya, masih dari data tersebut, terkait dengan konten komersial yang digunakan 82,2 juta (62%) online shop, 45,3 juta (34,2%) bisnis personal dan 5 juta (3,8%) lainnya.
Dengan jumlah penduduk tahun 2017 sebesar 262 juta, pengguna internet 132,7 juta, pengguna media sosial 106 juta, sementara itu mobile subscription (pengguna telepon bergerak) 371,4 juta alias 142% dari jumlah populasi. Selanjutnya 98%, merupakan pelanggan pra-bayar, 2% pelanggan pasca bayar, dan 46% menggunakan konekse dengan layanan broadband (3G dan 4G). Menjadikan Indonesia sebagai pasar digital yang potensial.
Kondisi di atas, memicu semakin berkembangnya ekonomi digital. Sebagaimana laporan dari IdEA, dalam aktifitas e-commerce Indonesia didapatkan data sebagai berikut : 48% mencari info produk online, 46% mengunjungi toko online, 41% membeli produk online, 34% membeli melalui PC, 33% membeli melalui mobile. Sedangkan 9 % dari total populasi melakukan transaksi online atau setara dengan 24,74 juta, dengan nilai transaksi 5,6 miliar dollar Amerika. Meskinpun besaran transaksi e-Commerce ini, masih kurng dari 2% dari total transaksi perdagangan konvensional.
Bahkan untuk mendukung ekonomi digital khususnya e-commerce, pemerintah telah membuat roadmap bisnis e-commerce hingga tahun 2020, dan meprediksi pada tahun tersebut transaksi e-commerce telah mencetak nilai transaksi sebesar Rp. 1.700 trilyun. Sedangkan menurut McKinsey, pertumbuhan ekonomi digital akan meningkat hinga US$ 150 miliar, hingga tahun 2025, sebagaimana yang dimuat dalam laporannya yang berjudul,”Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity.”
Dalam sebuah bocoran yang di rilis IdEA, didapat kan data bahwa, Go-Jek sebuah layanan transportasi online asli Indonesia besutan Nabiel Makarim, disebutkan bahwa setiap detik melayani 8 pesanan. Jika dirata-rata tarif satu kali jalan adalah Rp. 10 ribu, maka secara roughly didapat hitungan : 8 pesanan x 60 detik x 60 menit x 24 jam x Rp. 10.000, = Rp. 6.912.000.000/hari, alias Rp. 2,073 trilyun per bulan, atau setara dengan Rp. 24 trilyun per tahun.
Sedangkan gross revenue dari UBER pada tahun 2016, sebagai kompetitor dari Go-Jek adalah US$ 20 milyar dolar, setelah pada tahun 2014 dan 2015 masing masing mencatatkan US$ 2,03 milyar dan US$ 10 milyar. Sebuah bisnis yang fantastis.
Dengan berbagai data tersebut di atas, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan penggunaan media digital yang terus tumbuh, pun demikian menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan e-commerce terbesar di dunia.
By Name By Address
Kita, sebagai warga negara bisa jadi berbangga dengan data statistik di atas. Karena, dari data tersebut, menempatkan Indonesia telah memasuki era digital. Akan tetapi disisi lain, kita mestinya harus cerdas dalam mensikapi ini. Sebab, dengan memasuki era digital ini, maka term and conditions-nya, mensyaratkan kita untuk menyerahkan data sebagai bukti auntifikasi atas data diri. Satu sisi ini baik, untuk mencegah penyalahgunaan (fraud) oleh pemilik akun yang telah mendaftar.
Namun, disisi lain, bisa jadi data yang telah kita serahkan itu, disalahgunakan oleh provider penyelenggara e-commerce, fintech dan layanan sejenisnya. Kasus, penyalahgunaan (penjualan) data nasabah bank beberapa waktu lalu, yang kemudian bisa di pakai oleh bank lain untuk menawari jadi nasabah, sebenarnya salah satu pelajaran yang cukup berarti.
Sehingga, dengan hadirnya ekonomi digital dan teknologi digital pada umumunya, maka menjadikan Indonesia sebagai pasar yang besar. Dan ini sesungguhnya, menciptakan kekhawatiran itu.
Ketika start-up lokal yang membesar, dan kemudian diinjeksi modal oleh venture capitalistasing, itulah pintu masuk yang mengkhawatirkan. Sebab dengan berbagai data perkembangan digital di Indonesia, tentu akan merangsang pemilik modal asing untuk meilirik Indonesia. Dan, hal ini terbukti dengan banyaknya venture capitalist, yang kemudian berburu start-up Indonesia, untuk di biayai dan dibesarkan.
Dus, artinya start-up tersebut telah di kuasai kepemilikannya oleh asing, dan menyisakan sedikit kepemilikan kepada foundernya. Mereka bukan lagi pemilik, tetapi sudah berubah menjadi pekerja hal ini dapat dilihat bagaimana kemudian start-up lokal semisal: tokopedia, traveloka, bukalapak, lazada dsb, di ambil alih oleh asing.
Comments